Entri Populer

Kamis, 25 November 2010

Nasib Eks Pengungsi

Yang Penting Ada Garam dan Cabai...
Laporan wartawan KOMPAS Herpin Dewanto Putro
Jumat, 26 November 2010 | 09:27 WIB
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Para lansia dan anak-anak yang tinggal di lereng Gunung Merapi mulai dievakuasi ke barak pengungsian di Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (25/10/2010). Status aktivitas Gunung Merapi meningkat dari Siaga menjadi Awas sejak Senin (25/10/2010) pukul 06.00. Pemerintah Kabupaten Sleman meminta masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana Gunung Merapi untuk tidak panik dan bersedia dievakuasi.
KOMPAS.com — Empat warga bercakap-cakap di teras sebuah rumah di Desa Ngemplakseneng, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten, Jateng, Kamis (25/
11/2010) siang. Kegelisahan tampak di wajah mereka saat membahas perpanjangan masa darurat bencana Merapi. Artinya, kesusahan dalam hidup mereka turut diperpanjang.

Mereka adalah Sugeng (45), Minto Wiyono (60), Mulyanto (39), dan pemilik rumah, Kadi Suyono (54). Setelah pulang dari pengungsian, setiap hari mereka berkumpul. ”Mau apa lagi, wong kami masih menganggur,” kata Sugeng.

Keempat warga itu biasa bekerja sebagai buruh serabutan, pekerjaan mayoritas di desa itu. Ada yang ikut menambang pasir, membuat bangunan, atau ikut menggarap sawah.

Sejak Merapi meletus, mereka tidak lagi bekerja karena harus mengungsi dan menyelamatkan keluarganya. Setelah pulang, mereka belum bisa bekerja karena aktivitas ekonomi di desa itu masih lumpuh.

Desa Ngemplakseneng yang berjarak sekitar 12 kilometer dari puncak Merapi itu sepi. Jalan di desa itu masih berantakan karena pohon-pohon di pinggir jalan yang bertumbangan belum dibersihkan.

Di tengah kondisi seperti itu, Sugeng dan warga lainnya berusaha bertahan hidup. Dengan uang yang masih tersisa, mereka membeli makanan dan menghematnya dengan berbagai cara. ”Jatah makanan dari posko pengungsian sudah habis,” kata Sugeng yang kembali ke rumahnya pada Kamis (18/11/2010). Dia mendapat beras 3 kilogram dan setengah dus mi instan.

Sugeng bersyukur masih mendapat jatah daging kurban Idul Adha. Namun, daging itu hanya cukup untuk disantap selama lima hari. Setelah daging kurban dan jatah dari posko habis, Kadi membeli beras dari uang yang tersisa. ”Kalau satu kilogram beras biasanya buat satu hari, sekarang bisa sampai tiga hari. Pokoknya harus irit,” katanya.

Dia dan keluarganya menyantap nasi dengan mi instan dari posko pengungsian. Setelah mi instan habis, Kadi bingung. ”'Sing penting ono uyah karo lombok wis cukup' (yang penting ada garam dan cabai sudah cukup),” katanya.

Keadaan sedikit membaik ketika pasukan TNI ditugaskan menjaga desa tersebut. Tentara itu memakai rumah Kadi sebagai pos jaga. Pada saat makan, para tentara itu mengundang beberapa warga untuk makan bersama.

Namun, hal itu hanya berlangsung empat hari sejak Senin (22/11/2010). Setelah itu, anggota TNI itu diperintahkan berjaga di pos di Desa Balerante yang berjarak sekitar 5 kilometer dari puncak Merapi. Mereka meninggalkan rumah Kadi pada Kamis siang itu. ”Wah, kami jadi enggak tahu mau makan apa malam ini,” kata Kadi.

Beban warga bertambah ketika mendapat tagihan listrik. ”Ya, belum saya bayar karena saya tidak punya uang,” kata Sugeng yang harus membayar listrik sebesar Rp 30.000 untuk tagihan bulan November.

Kadi juga belum membayar tagihan listrik sebesar Rp 50.500. ”Biar saja, nanti meteran di rumah saya dicabut juga tidak apa-apa,” katanya.

Sugeng dan Kadi juga bercerita bahwa akan ada pasokan beras untuk masyarakat miskin. Namun, mereka harus membayar Rp 4.500 untuk dua kilogram beras. Warga mengeluh karena sepertinya tidak ada keringanan bagi mereka. Semuanya harus dibayar. Saat ini tidak ada bantuan dari pemerintah yang mereka dapat.

Minggu, 31 Oktober 2010

Aku Mencintaimu Ya Rasulullah


Semoga Allah swt merahmati orang yang memuji nabi Muhammad saw dalam bait syairnya:
Muhammad, yang diutus membawa kasih sayang
Merubah kesesatan dan memperbaharuinya
Boleh jadi gunung menuruti kemauan Daud, bahkan besi menjadi luluh
Maka, bebatuan dan padang sahara dalam genggamannya (Muhammad) memujinya
Musa, yang mampu memancarkan air dengan tongkatnya
Di tangannya (Muhammad), air bertepuk ceria
Jika angin bisa dikendalikan oleh Sulaiman
Atau kerajaan besar yang dimiliknya,
Bahkan pasukan jin tunduk kepadanya
Maka, pintu-pintu kemegahan dunia datang kepadanya (Muhammad)
Tapi Ia tolak dengan penuh zuhud
Meskipun Ibrahim dijuluki kekasih
Dan Musa yang diajak berbicara di bukit
Dia (Muhammad) lebih menjadi kekasih,
Bahkan yang berbicara dan bertemu langsung dengan nyata
Ia pemilik perogratif syafaat udzma di saat pendosa di ujung neraka
Ia pemilik tempat duduk yang tinggi, yang paling dekat dengan-Nya
Yang paling pertama masuk surga, bahkan pintu-pintunya menanti kedatangannya

Ayyuhal mukminun,
Sunggguh kecintaan terhadap Nabi Muhammad saw merupakan tabungan di setiap hati orang beriman. Tiada seorang mukmin, kecuali ia memiliki kadar cinta kepadanya, sedikit atau banyak. Hakikat cinta terhadapnya tergantung tanda-tanda kecintaan seseorang. Maka tanyakan pada dirimu, telusuri hati dan amalmu, ketika itu Anda tahu kadar cintamu kepadanya.

Rabu, 27 Oktober 2010

Ikhwan dan Akhwat dalam Fenomena Hijab (Pembatas)

Angin keterbukaan yang bertiup kencang di era reformasi menyebabkan medan dakwah menjadi sangat berbeda dengan dakwah di zaman Soeharto berkuasa. Ketika Soeharto sedang berada di zaman emasnya, scope dakwah sangat terbatas. Dakwah dilakukan door to door. Dakwah kepada masyarakat luas hanya moment-moment tertentu, dengan topik yang cukup umum. Para ulama tidak bisa menyentil atau secara tidak langsung mengkritisi pemerintah dalam ulasan ceramahnya, jika tidak ingin ’hilang malam’ segera setelah menyelesaikan isi pidatonya.
Dakwah hari ini cukup kontroversi dengan situasi di atas. Peluang yang terbuka lebar di sana-sini, memungkinkan aktivis dakwah untuk tampil tanpa ragu-ragu. Forum-forum yang mengusung panji Islam bermunculan, bacaan Islami menjamur, organisasi Islam berdiri sampai ke panggung politik nasional, bahkan seni Islam seperti lagu nasyid juga tidak ketinggalan. Singkatnya, dakwah tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi. Intensitas pertemuan Ikhwan-Akhwat pun tidak dapat dihindari. Namun apakah mereka turut mereformasi hijabnya seiring dengan tuntutan zaman? Mengadakan pertemuan tanpa hijab (tabir pembatas ruangan laki-laki dan perempuan), sering menelepon membahas agenda urgent untuk syuro (baca: rapat) selanjutnya, mengirim sms, miscall untuk mengingatkan jam syuro sudah dimulai, e-mail dan sarana telekomunikasi lainnya telah menjadi corak yang mewarnai pergaulan Ikhwan-Akhwat. Jika kelonggaran ini terus merambat maka dikhawatirkan aktifitas dakwah akan kehilangan keistimewaan yang mesti dimilikinya. Jika sudah demikian, lalu apa bedanya kita dengan yang lain?.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab turunnya hijab di kalangan aktivis dakwah:
Pertama, pemahaman. Walaupun telah dipenuhi atribut sebagai aktivis, masih banyak yang belum faham tentang hijab itu sendiri. Demikian juga norma-norma yang lain. Banyak di antara mereka yang ’tersandung’ terlebih dahulu baru kemudian benar-benar memahami urgensi hijab bagi perjalanan dakwah yang sedang diperjuangkan. Kendati pemahaman dapat diasah melalui bacaan, pengalaman memang lebih mengena ke sanubari orang yang mengalaminya.
Kedua, ukhuwah yang mandeg di tengah mereka. Ukhuwah sesama Akhwat yang renggang menyebabkan seorang Akhwat lebih suka curhat kepada seorang Ikhwan. Atau sebaliknya, karena sibuk menghandle beberapa kegiatan, akhirnya kurang arif melihat bahwa di antara sesama Ikhwan ada yang sedang mengalami masalah prbadi. Kadang-kadang kecenderungan yang terjadi lebih ke lawan jenis daripada kepada sesamanya. Fenomena inilah yang harus disikapi lebih awal. Ikatan hati antara Akhwat dengan sesama Akhwat, dan Ikhwan dengan sesama Ikhwan harus diperkuat.
Ketiga, kurang kontrol, baik dari murabbi atau dari dewan syuro lembaga dakwah kampus. Seringkali yang muncul adalah komentar-komentar tanpa solusi konkrit. Tidak jarang pula karena tidak ada rujukan yang benar-benar dapat dijadikan teladan. Hal ini cukup dilematis bagi aktivis yang berstatus junior yang ingin proaktif.
Ketika rambu-rambu pribadi kita agak redup, ada beberapa sikap yang semakin menjerumuskan kita dari penjagaan hijab ini. Boleh jadi tindakan ini telah sering kita lakukan, secara lambat laun membuat hijab kita semakin terkontaminasi. Di antara sikap-sikap tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pandangan.
Pandangan merupakan langkah awal yang biasa digunakan syetan untuk merusak hati seorang laki-laki atau seorang perempuan terhadap lawan jenisnya. “Dari mata turun ke hati“ bukanlah sekedar pameo. Karena itu Rasulullah Saw melarang Ali bin Abi Thalib memandang seorang perempuan untuk kedua kalinya sebab ia merupakan anak panah syetan. Allah pun telah mengingatkan dalam Surah An Nuur : 30, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.“
2. Senyuman.
Senyuman memang merupakan sedekah yang paling mudah dan paling murah. Senyuman akan bermakna positif pada orang yang tepat, pada saat yang tepat dan dalam durasi waktu yang tepat pula. Namun maknanya akan terasa berbeda jika senyuman itu diberikan pada lawan jenis dengan tatapan mata yang penuh arti dan frekuensi yng cukup sering.
3. Ucapan.
Komunikasi memang sangat diperlukan antar sesama aktivis dakwah. Perlu digaris bawahi agar perkataan yang terlontar dalam pembicaraan agenda dakwah tidak menyinggung hal-hal personal apalagi bersifat sensitif. Ucapan akan mengundang makna implisit jika diekspresikan dengan penuh perasaan. Ucapan kita akan terpengaruh jika dibawa bercanda, menghibur atau bersimpati pada lawan jenis. Karena bahaya lidah tak bertulang inilah maka Rasulullah Saw menyebutkan dalam salah satu haditsnya agar kita senantiasa berbicara yang baik atau lebih baik diam.
4. Kunjungan.
Salah satu cara mempererat silaturahim adalah dengan mengunjungi saudara. Dengan demikian ukhuwah akan semakin kuat dan harmonis. Namun kunjungan antara pria dan wanita dapat berdampak lain. Terkadang kunjungan dibuat dengan cover meminjam catatan, diskusi tentang tugas akhir semester, follow up syuro yang tidak sempat dibahas di kampus, konsultasi keislaman dan banyak topeng lainnya. Perlahan-lahan kunjungan formal ini menjadi kunjungan yang lebih bersifat prifacy.
5. Hadiah.
“Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai“, sabda Rasulullah Saw. Trik ini sangat bagus digunakan untuk menambah kehangatan persahabatan antar sesama Akhwat atau sesama Ikhwan seperti dalam acara tukar kado atau Malam Bina Iman dan Takwa (MABIT). Tidak sedikit pula kita menyalah artikan pemberian ketika hadiah itu berasal dari lawan janis. Kemudian timbul perasaan ge-er yang membuka pintu-pintu rusaknya hati, karena tipisnya tameng untuk itu.
Sadar atau tidak, tindakan di atas adalah rangkaian pintu masuk syetan yang merupakan bagian dari langkah-langkah syetan untuk menjauhkan kita dari ridho Allah Swt. Kita harus senantiasa mawas diri bahwa dari setiap aliran darah ini musuh kita laknatullah tersebut akan selalu mengintai peluang untuk melengahkan kita. Terlepas kepada siapa kita melakukannya, orang yang faham atau orang yang awam. Seperti yang ditegaskan Allah dalam al-Quran Surah al-Baqarah: 208, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara menyeluruh. Janganlah kamu menuruti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu.“
Untuk membentengi diri dari godaan ini, ada tiga penguasaan yang harus kita miliki.
Pertama, penguasaan ilmu. Keimanan perlu ditopang dengan ilmu. Mengetahui ilmu tidak cukup hanya sekedar mengenal sebab, yang lebih penting adalah memahaminya. Sesungguhnya dengan mengunakan jilbab syar’i seorang Akhwat telah membuat perisai untuk dirinya yang menunjukkan izzah seorang Muslimah. Dari penampilan fisik saja sebenarnya kita telah menghijabi diri dari kemungkinan berbuat di luar jalur. Masih banyak ilmu-ilmu lainnya yang harus digali untuk semakin meningkatkan kualitas diri seorang Muslim. Ilmu bisa datang dari mana saja, siapa saja dan kapan saja, selagi kita menguatkan azzam dan meluruskan niat bahwa kita menuntut ilmu dalam rangka beribadah kepada Allah Swt, “…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat“ (Q.S. Al Mujadalah : 11).
Kedua, penguasan ma’nawi. Seorang yang faham dengan sesuatu belum tentu komit dengan pengetahuannya. Dia harus berlatih mengendalikan hawa nafsunya di bawah kendali iman. Begitu juga halnya dengan pemahaman seorang aktivis harokah, bisa saja luntur ketika keimanannya memudar. Pengetahuannya tentang etika pergaulan pria dan wanita menjadi redup, seredup cahaya imannya. Salah satu obatnya adalah dengan membasahi rohaninya yang kering dengan istighfar dan dzikrullah. Harus selalu dicamkan dalam hati bahwa kita menjaga diri ini tidak mengenal lingkungan di mana kita berada. Sejatinya, kemanapun kita melangkah, seiring dengan bertambahnya ilmu, orang ammah (umum) dapat melihat niai-nilai Islami tersebut terpancar dari tingkah polah kita. Normal jika tidak sedikit yang berbuat khilaf di tengah usahanya memperbaiki diri. Kewajiban kita adalah selalu berusaha untuk menjadi lebih baik.
Ketiga, penguasaan aplikasi. Penguasan ilmu dan stabilitas ma’nawiyah belum cukup sempurna jika respon-respon gerak belum tumbuh. Seorang aktivis yang menguasai ilmu akan memberikan reaksi yang tepat terhadap aksi-aksi yang muncul di sekitarnya serta mampu memberikan input bagi lingkungannya. Ia tidak reaksioner terhadap aksi-aksi negatif serta lebih bijaksana menyikapi suatu tantangan dari berbagai sudut pandang. Pola pikir yang broad-mainded ini akan kelihatan manfaatnya ketika ia mengambil keputusan dalam pergaulan sesama. Ia tidak akan cepat ge-er dan tidak akan membuat ge-er orang lain. Wibawanya sebagai seorang Muslim tetap terjaga.
Jadi seorang aktivis dakwah yang telah mempunyai penguasaan materi keilmuan (kognitif), kestabilan ma’nawi (afektif) dan penguasaan gerak amal (evaluatif) akan terjaga komitmennya terhadap tarikan-tarikan buruk. Seyogyanya, dengan pemahaman ini, eksistensi hijab tidak mengurangi kinerja aktivis dalam gerak organisasinya. Program-program dakwah dapat direalisasikan jika Ikhwan-Akhwat saling bersinergi, yang ditunjang dengan ukhuwah yang kental. Sangat diharapkan, lembaga dakwah kampus mampu mengenjot potensi kader-kadernya terutama yang berada di posisi kunci. Sehingga dapat menyelesaikan kerja-kerja dakwah dengan optimal yang hasilnya juga dapat dirasakan oleh masyarakat, bukan hanya komunitas Ikhwan-Akhwat atau civitas akademika saja. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menggurui tetapi lebih mengingatkan kita semuanya. Karena tentunya kita tidak ingin menjadi manusia yang merugi. Allah telah berfirman dalam al-Quran Surat al’Ashr: 1-3, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan saling nasehat-menasehati dalam kesabaran“. Wallahu’alam.
(inspirasi tulisan dari : Hafidzah, FSI NurJannah Padang dengan penyesuaian).
By : Onesia.

Senin, 25 Oktober 2010

untuk mu sahabat-sahabatku

by Dewi Hardianti Pratiwi on Thursday, September 30, 2010 at 7:28am
Muslimah cantik, menjadikan malu sebagai mahkota kemuliaannya…” (SMS dari seorang sahabat)
Membaca SMS di atas, mungkin pada sebagian orang menganggap biasa saja, sekedar sebait kalimat puitis. Namun ketika kita mau untuk merenunginya, sungguh terdapat makna yang begitu dalam. Ketika kita menyadari fitrah kita tercipta sebagai wanita, mahkluk terindah di dunia ini, kemudian Allah mengkaruniakan hidayah pada kita, maka inilah hal yang paling indah dalam hidup wanita. Namun sayang, banyak sebagian dari kita—kaum wanita—yang tidak menyadari betapa berharganya dirinya. Sehingga banyak dari kaum wanita merendahkan dirinya dengan menanggalkan rasa malu, sementara Allah telah menjadikan rasa malu sebagai mahkota kemuliaannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا ، وَإنَّ خُلُقَ الإسْلاَمِ الحَيَاء
“Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.” (HR. Ibnu Majah no. 4181. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain,
الحَيَاءُ وَالإيمَانُ قُرِنَا جَمِيعًا ، فَإنْ رُفِعَ أحَدُهُمَا رُفِعَ الآخَر
“Malu dan iman itu bergandengan bersama, bila salah satunya di angkat maka yang lainpun akan terangkat.”(HR. Al Hakim dalam Mustadroknya 1/73. Al Hakim mengatakan sesuai syarat Bukhari Muslim, begitu pula Adz Dzahabi)
Begitu jelas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan teladan pada kita, bahwasanya rasa malu adalah identitas akhlaq Islam. Bahkan rasa malu tak terlepas dari iman dan sebaliknya. Terkhusus bagi seorang muslimah, rasa malu adalah mahkota kemuliaan bagi dirinya. Rasa malu yang ada pada dirinya adalah hal yang membuat dirinya terhormat dan dimuliakan.
Namun sayang, di zaman ini rasa malu pada wanita telah pudar, sehingga hakikat penciptaan wanita—yang seharusnya—menjadi perhiasan dunia dengan keshalihahannya, menjadi tak lagi bermakna. Di zaman ini wanita hanya dijadikan objek kesenangan nafsu. Hal seperti ini karena perilaku wanita itu sendiri yang seringkali berbangga diri dengan mengatasnamakan emansipasi, mereka meninggalkan rasa malu untuk bersaing dengan kaum pria.
Allah telah menetapkan fitrah wanita dan pria dengan perbedaan yang sangat signifikan. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga dalam akal dan tingkah laku. Bahkan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 228 yang artinya; ‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang sepatutnya’, Allah telah menetapkan hak bagi wanita sebagaimana mestinya. Tidak sekedar kewajiban yang dibebankan, namun hak wanita pun Allah sangat memperhatikan dengan menyesuaikan fitrah wanita itu sendiri. Sehingga ketika para wanita menyadari fitrahnya, maka dia akan paham bahwasanya rasa malu pun itu menjadi hak baginya. Setiap wanita, terlebih seorang muslimah, berhak menyandang rasa malu sebagai mahkota kemuliaannya.
Sayangnya, hanya sedikit wanita yang menyadari hal ini…
Di zaman ini justeru banyak wanita yang memilih mendapatkan mahkota ‘kehormatan’ dari ajang kontes-kontes yang mengekspos kecantikan para wanita. Tidak hanya sebatas kecantikan wajah, tapi juga kecantikan tubuh diobral demi sebuah mahkota ‘kehormatan’ yang terbuat dari emas permata. Para wanita berlomba-lomba mengikuti audisi putri-putri kecantikan, dari tingkat lokal sampai tingkat internasional. Hanya demi sebuah mahkota dari emas permata dan gelar ‘Miss Universe’ atau sejenisnya, mereka rela menelanjangi dirinya sekaligus menanggalkan rasa malu sebagai sebaik-baik mahkota di dirinya. Naudzubillah min dzaliik…
Apakah mereka tidak menyadari, kelak di hari tuanya ketika kecantikan fisik sudah memudar, atau bahkan ketika jasad telah menyatu dengan tanah, apakah yang bisa dibanggakan dari kecantikan itu? Ketika telah berada di alam kubur dan bertemu dengan malaikat yang akan bertanya tentang amal ibadah kita selama di dunia dengan penuh rasa malu karena telah menanggalkan mahkota kemuliaan yang hakiki semasa di dunia.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128) Di antara makna wanita yang berpakaian tetapi telanjang adalah wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/191)
Dalam sebuah kisah, ‘Aisyah radhiyyallahu ‘anha pernah didatangi wanita-wanita dari Bani Tamim dengan pakaian tipis, kemudian beliau berkata,
إن كنتن مؤمنات فليس هذا بلباس المؤمنات وإن كنتن غير مؤمنات فتمتعينه
“Jika kalian wanita-wanita beriman, maka (ketahuilah) bahwa ini bukanlah pakaian wanita-wanita beriman, dan jika kalian bukan wanita beriman, maka silahkan nikmati pakaian itu.” (disebutkan dalam Ghoyatul Marom (198). Syaikh Al Albani mengatakan, “Aku belum meneliti ulang sanadnya”)
Betapa pun Allah ketika menetapkan hijab yang sempurna bagi kaum wanita, itu adalah sebuah penjagaan tersendiri dari Allah kepada kita—kaum wanita—terhadap mahkota yang ada pada diri kita. Namun kenapa ketika Allah sendiri telah memberikan perlindungan kepada kita, justeru kita sendiri yang berlepas diri dari penjagaan itu sehingga mahkota kemuliaan kita pun hilang di telan zaman?
فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Nikmat Rabb-mu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar Rahman: 13)
Wahai, muslimah…
Peliharalah rasa malu itu pada diri kita, sebagai sebaik-baik perhiasan kita sebagai wanita yang mulia dan dimuliakan. Sungguh, rasa malu itu lebih berharga jika kau bandingkan dengan mahkota yang terbuat dari emas permata, namun untuk mendapatkan (mahkota emas permata itu), kau harus menelanjangi dirimu di depan public.
Wahai saudariku muslimah…
Kembalilah ke jalan Rabb-mu dengan sepenuh kemuliaan, dengan rasa malu dikarenakan keimananmu pada Rabb-mu…
Jogja, Jumadil Ula 1431 HPenulis: Ummu Hasan ‘AbdillahMuroja’ah: Ust. Muhammad Abduh Tuasikal